Makalah KH. Syaikhona Mbah Kholil
MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DOSEN PENGAMPU
Kholifah Diana,
S.Pd. I
Penyusun
Rizki Hamdani
NIM
17MI0087
POLITEKNIK
MITRA KARYA MANDIRI
PROGRAM STUDI DIII
MANAJEMEN INFORMATIKA
TAHUN 2018/2019
KETANGGUNGAN-BREBES
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan Makalah tentang KH.
KHOLIL BANGKALAN MADURA (SYAIKHONA MBAH KHOLIL)
Kami sangat berharap Makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
apa yang Ibu/Bapak harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan
usulan demi perbaikan untuk masa yang akan datang.
Semoga Makalah sederhana ini dapat dimengerti bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya Makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Terima kasih.
Semoga Makalah sederhana ini dapat dimengerti bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya Makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Terima kasih.
Brebes, 16 Januari 2018
Penyusun
Rizki Hamdani
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................................................. iii
DAFTAR
ISI................................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah........................................................................................................ 4
B. Tujuan
Penulisan................................................................................................................... 5
C. Rumusan Masalah................................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
A.
KH. Kholil Bangkalan Madura (Syaikhona Mbah Kholil).............................................................iv
·
Riwayat Hidup……………………………………………………………………………………..6
·
Pendidikan…………………………………………………………………………………………7
·
Jasa dan Karya……………………………………………………………………………………..9
·
Kisah Teladan…………………………………………………………………………………….13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................................... 21
B. Saran..................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
KH
Cholil adalah Waliyullah yang sangat mempunyai pengaruh paling besar pada saat
sebelum hingga awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Hal
ini terjadi karena sebab berguru kepadanya beliaulah, banyak santri-santri yang
menjadi pengasuh pondok pesantren besar di Indonesia dan tokoh-tokoh di NU pada awal berdirinya. Dalam catatan sejarah,
banyak tokoh-tokoh pendiri NU adalah alumni dari pondok pesantren yang diasuh
oleh beliau yang bernama lengkap Kyai Kholil bin Kyai Abdul Lathif bin Kyai
Hamim bin Kyai ‘Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asral Karamah bin Kyai
‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati, salah
satu Walisongo.
Kyai
Cholil adalah seorang alim dalam Ilmu
Nahwu, Ilmu
Fiqh dan tarekat. Beliau
juga di kenal hafal al-Qur’an dan menguasai segala ilmunya. Termasuk seni baca
Al-qur’an tujuh macam (Qiroah
sab’ah). Selain kelebihan tersebut, beliau juga
mempunyai kemampuan pada hal-hal yang tidak kasat mata (tidak dapat di lihat)
dan sebab kelebihan tersebut, umat Islam Indonesia meyakini beliau adalah
Waliyullah. Kyai Cholil terlahir pada tanggal 11 Jumadil Tsani 1235H atau 27 Januari 1820M di Kampung Senenan, Desa
Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang
terletak di ujung barat pulau Madura, Propinsi Jawa Timur. Kyai
Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1341H atau 14 Mei 1923M pada usia 106 tahun
karena usia lanjut. Nasab Keturunan KH Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya
di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai
mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH Abdul
Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah
Cholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai
pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah
Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut
terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai
Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucuSunan Gunung Jati. Maka
tak salah kalau KH Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak
Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Mbah
Cholil (KH Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali
yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati danSunan Kudus, yang
mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid
Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluargaBasyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih
Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.
KH Muhammad Kholil bin KH Abdul Lathif bin Kyai
Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai
Abdullah bin Sayyid Sulaiman.
Sayid
Sulaiman adalah cucu Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid
Jamaluddin Al-Kubra.
Berikut
ini adalah silsilah nasab Mbah Cholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah
jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk
menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan
Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab
II. Tujuan Penulisan
1. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan yang umum dan luas.
2. Mengetahui Sejarah Tokoh Agama KH Kholil
Bangkalan Madura.
3. Meneladani Dari Kisah Hidup Beliau
4. Memperdalam Pengetahuan Tentang Agama
Terutama Agama Islam
III. Rumusan
Masalah
1. KH
Kholil Bangkalan Madura
o
Bagaimana Sejarah Hidup Beliau?
o
Sejarah Pendidikan Beliau?
o
Karomah seperti apa yang
beliau Terima?
o
Jasa Dan Karya Beliau Bagi
Negara dan Agama?
o
Bagaimana Kisah Keteladanan Beliau?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
RIWAYAT
KH. KHOLIL BANGKALAN MADURA
Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup KH Kholil
Bangkalan Madura, telah
banyak dilakukan oleh para sarjana. KH Kholil
Bangkalan Madura, Lahir Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Tsani 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif
seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten
Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang
teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak
laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan
terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya
di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai
mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul
Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama.
Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.
Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut
terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai
Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati.
Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti
jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat.
Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan
ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal
dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda.
Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang
lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren
untuk menimba ilmu.
II. PENDIDIKAN
a. Pendidikan Sejak kecil
Sejak kecil, beliau mendapatkan pendidikan agama langsung dari orang tua secara ketat. Kyai Cholil sejak kecil memang sudah mempunyai sifat-sifat sebagai calon ulama yang berpengaruh besar. Di antara keistimewaan beliau adalah kehausan akan ilmu, terutama dalam bidang ilmu Fiqh dan ilmu Nahwu (ilmu tata bahasa Arab). Beliau sudah hafalMatan Alfiyah Ibnu Malik (1,000 bait) mengenai ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang hafiz al-Quran tiga puluh juz juga berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara membaca al-Quran).
Karena
keinginan orang tuanya yang sangat kuat untuk mendidik anaknya menjadi ulama,
kemudian pada sekitar tahun 1850 an, Kyai Cholil menuntut ilmu sebagai santri
di Pondok pesantren Langitan, Kabupaten Tuban yang di asuh oleh KH Muhammad Nur. Setelah
merasa cukup, kemudian Kyai Cholil melanjutkan menuntut ilmu menjadi santri di
Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Kabupaten Pasuruan.
Setelah itu kemudian, beliau pindah ke Pondok Pesantren Kebon Candi, Kabupaten Pasuruan dan juga menjadi santri di tempat Kiai Nur
Hasan yang masih termasuk familinya di Sidogiri.
Jarak
antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan
ilmu, Mbah Cholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu
setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, beliau tak
pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga dalam perjalanannya
itu bisa khatam berkali-kali.
b. Menuntut Ilmu di Mekah
Beliau
berkeinginan untuk menuntut ilmu di Mekah, maka
Mbah Cholil pun memutar otak untuk mencari jalan keluarnya, akhirnya beliau
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh
pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama
nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Cholil juga menjadi “buruh” pemetik
kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang
yang diperolehnya tersebut beliau tabung.
Sedangkan
untuk makan, Mbah Cholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan
melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya.
Dari situlah Mbah Cholil bisa makan gratis. Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat
usianya mencapai 24 tahun, Mbah Cholil memutuskan untuk pergi ke Mekah. Tetapi
sebelum berangkat, Mbah Cholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan
Lodra Putih.
Setelah menikah, pada 1276 Hijrah atau 1859
Masehi berangkatlah beliau ke Mekkah. Dan
memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya
selama nyantri di Banyuwangi,
sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon,
Mbah Cholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Cholil bukan dalam rangka
menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar
perjalanannya selamat.
Di Mekah Kyai Muhammad Khalil al-Maduri bersahabat
dengan Syeikh
Nawawi al-Bantani. Ulama-ulama dunia Melayu di Mekah yang seangkatan dengan Syeikh
Nawawi al-Bantani (lahir
1230 Hijrah/1814 Masihi), Kyai Khalil al-Manduri (lahir 1235 Hijrah/1820
Masihi), Syeikh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817
Masihi), Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818
Masihi), Kyai
Umar bin Muhammad Saleh Semarang.
Di
antara gurunya di Mekah ialah Syekh Utsman bin Hasan ad Dimyathi, Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syekh
Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dan masih banyak lagi. Beberapa sanad hadis
yang musalsal diterima daripada sahabatnya Syeikh
Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail
al-Bimawi (Kota Bima, Sumbawa). Walau
pun Syeikh Ahmad al-Fathani jauh lebih muda daripadanya, yaitu seumuran
anaknya, namun kerana tawadlunya, Kyai Muhammad Cholil al-Maduri pernah belajar
kepada ulama yang berasal dari Patani itu. Kyai Muhammad Khalil al-Maduri
termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul
Tashilu Nailil Amani, tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok-pesantrennya
di Bangkalan. Karya
Syeikh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu
nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak
pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab itu.
Mengenai
ilmu thariqat, Kyai Muhammad Cholil al-Maduri belajar kepada beberapa orang
ulama thariqat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya daripada Syeikh
Ahmad Khatib Sambas diterimanya baiah dan tawajjuh Thariqat
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Thariqat
Naqsyabandiyah juga
diterimanya daripada Sayyid Muhammad Shalih az Zawawi dan ulama lainnya, di antaranya termasuk kepada Syekh
Utsman Dimyathi juga.
Sewaktu
berada di Mekah untuk perbelanjaannya sehari-hari, Kyai
Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin risalah-risalah yang
diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahawa pada waktu itulah timbul
ilham antara mereka bertiga, iaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani (Syeikh
Nawawi al-Bantani), Kyai Muhammad Cholil al-Maduri dan Syeikh
Saleh as-Samarani (KH
Muhammad Saleh Darat, Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf
Pegon. Huruf
Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan
dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu /
Jawa yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Konon, selama di Mekah, Mbah
Cholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih
layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan
Mbah Cholil antara lain: Syeikh
Nawawi al-Bantani, Syekh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh Muhammad Yasin Al Fadani. Mereka
semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu. Kebiasaan
memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot
(vegetarian) dari Al-Ghazali, salah
seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
III. JASA DAN KARYA BELIAU
a. Menyebarkan Ilmu ke Tanah Air
Sepulangnya
dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah
Cholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia
pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu
dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz).
Hingga akhirnya, Mbah Cholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah
Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari
hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun,
setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu
Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada
menantunya. Mbah Cholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan,
hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak
Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa
kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Cholil juga cepat
memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah
Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi
lain, Mbah Cholil di samping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan
sharaf), beliau juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge
winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah
Cholil lebih dikenal.
b. Melawan Penjajah
Pada
masa hidup Mbah Cholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah di
daerah Madura. Mbah Cholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat. Masa
hidup Mbah Cholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Cholil melakukan perlawanan.
Pertama: beliau melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Cholil mempersiapkan murid-muridnya untuk
menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan
dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu
diantaranya adalah KH Hasyim Asy’ari,
Pendiri Pesantren Tebuireng.
Kedua: Mbah Cholil tidak melakukan perlawanan
secara terbuka, melainkan beliau lebih banyak berada di balik layar. Realitas
ini tergambar, bahwa beliau tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi
kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Cholil pun tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika
pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Cholil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Cholil, malah membuat pusing pihak
Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya
para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang
ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Cholil, bahkan banyak yang
meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Mbah Cholil untuk dibebaskan saja.
Mbah
Cholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap
pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau
sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh
bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
c. Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran
Mbah Cholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal
ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digarisbawahi bahwa Mbah Cholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada KH Hasyim Asy’ari sendiri.
Mengulas
kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924,
saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul
Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah
seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH
Abdul Wahab Hasbullah, kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama
terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik
mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.
Pada
perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah
(organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok
diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai
Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan
Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima
dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH Hasyim Asy’ari, Kyai
yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, KH Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan merestui
ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang. Sementara itu, Mbah
Cholil, guru KH Hasyim Asy’ari, yang
juga guru KH
Abdul Wahab Hasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata
beliau langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang
cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan
dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Cholil sambil menyerahkan sebuah
tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa,
Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya
fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya
hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa
wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa
linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Cholil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di
situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan
Mbah Cholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan
tersebut benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Cholil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda
berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai
Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.
“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian
beliau menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Cholil.
Mendengar
ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang,
terbayang wajah Mbah Cholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak
keberatan kalau beliau dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu,
keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan,
setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir.
Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” As’ad. “Kyai
juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna)
setiap waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan
penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun,
sampai tak lama setelah itu, Mbah Cholil meninggal, dan keinginan untuk
mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344
H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama ( NU). Dan
di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Cholil
untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain
dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Cholil,
seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
d. Tarekat dan Fiqh
Mbah
Cholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu madzhab saja.
Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, beliau lebih mendalami madzhab
Syafi’i di dalam ilmu fiqh.
Pada masa kehidupan Mbah Cholil, yaitu akhir
abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi
perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah
diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah,Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai
keterlibatan Mbah Cholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Cholil dikenal
pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan
dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Cholil pun diakui sebagai
salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan
ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan
dengan Mbah Cholil.
Memang,
Mbah Cholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya,
sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu
kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Cholil. Namun demikian, perbedaan antara
Mbah Cholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Cholil tidak sampai
mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi
penganut tarekat. Mbah Cholil justru meletakkan dan menggabungkan antara
keduanya (tarekat dan fiqh).
Dalam
penggabungan dua hal ini, Mbah Cholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh,
sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh.
Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya.
Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang
menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh
oleh Mbah Cholil tersebut.
e. Jalur Pengasuhan Pesantren
Oleh
sebab Kyai Muhammad Cholil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di
Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai
ahli/pakar nahu, fikah, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan
pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kyai Muhammad Khalil selanjutnya
mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat
Laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan
pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, ialah Kyai
Muntaha. Kyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kyai Muhammad Khalil bernama
Siti Khatimah. Adapun beliau sendiri (Kyai Khalil) mendirikan pondok-pesantren
yang lain di Kota Bangkalan,
letaknya sebelah Barat kota tersebut dan tidak berapa jauh dari
pondok-pesantrennya yang lama.
Jejak dan langkahnya dalam mengasus para
santrinya tetap menjadi monumen pada pejuang penerus dan pengikutnya, hingga di
Indonesia kini ada 6.000 lebih pondok pesantren yang sebagian besar mempunyai
hubungan budaya dengan NU.
IV. KISAH TELADAN BELIAU
a. Santri yang Mandiri
Sebenarnya,
bisa saja Mbah Cholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi
ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun
Mbah Cholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Cholil muda tetap saja
menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu,
selama nyantri di Sidogiri, Mbah
Cholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu
menjadi Santri Mbah Cholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan
Alfiyah Ibnu Malik (Tata
Bahasa Arab). Di samping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at
Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Kemandirian Mbah Cholil muda juga nampak ketika
beliau berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar
ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali
ini, lagi-lagi Mbah Cholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya,
apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
b. Membaca Yasin berkali-kali
Pada
saat beliau masih menuntut ilmu di pondok pesantren
Kebon Candi dan belajar di KH Nur Hasan harus dilakukan
dengan cara tidak menetap, atau kalau dalam dunia santri di sebut santri
kalong. Jarak antara pondok pesantren
Kebon Candi dan Rumah Kiai Nur Hasan sekitar 7 km. selama
perjalanan itu, beliau sambil membaca surat yasin sampai tamat berkali-kali.
c. Mensiasati Makan Gratis
Kyai
Cholil muda adalah sosok pemuda yang mandiri. Pada saat itu, dirinya ingin
melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah, Arab
Saudi. Tetapi tidak ingin meminta biayanya kepada orang tua. Untuk mewujudkan
hal tersebut, Kiai Cholil sebelum berangkat ke Mekah terlebih dahulu ngaji di pondok pesantren
Banyuwangi. Di pondok tersebut, beliau juga bekerja di kebun pengasuh pondok.
Dengan bekerja di kebun sebagai pemetik buah kelapa, beliau di bayar 2,5 sen
setiap pohon kelapa. Dengan penghasilan tersebut, uang yang didapatkannya di
tabung untuk biaya menuntut ilmu ke Mekah. Selain
itu, untuk makan sehari-hari, beliau menjadi khodim di dalem pondok pesantren
dengan mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan yang lain.
selain itu, Kiai Cholil juga menjadi juru masak bagi teman-temannya, dengan
seperti itu dirinya bisa mendapatkan makan dengan gratis.
d. Hati-hati Ada Macan (Kisah Kehadiran KH Abdul Wahab Hasbullah)
Pada
suatu hari di bulan Syawal, KH
Kholil memanggil semua santri, kemudian beliau mengatakan; “Santri-santri
sekalian.!! Untuk saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Karena
tidak lama lagi, akan ada macan masuk ke pondok kita”.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan
penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat
pondok pesantren ada hutan yang konon angker dan berbahaya, sehingga kuatir
jika yang di maksud macan akan muncul dari hutan tersebut. Setelah beberapa
hari ternyata macan yang di tunggu-tunggu tidak juga muncul juga, sampai
akhirnya sampai di minggu ke tiga sampai juga belum muncul. Setelah masuk di
minggu ke 3, Kyai Cholil memerintahkan santri-santri untuk berjaga-jaga ketika
ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke
komplek pondok pesantren.
Begitu
sampai di depan rumah Kyai Cholil mengucapkan salam “ Assalamu’alaikum” ucap pemuda
tersebut. Mendengar salam pemuda tersebut, Kyai Cholil justru malah berteriak
memanggil santri-santrinya.
“ Hai santri-santri, ada macan.. macan.. ayo
kita kepung, jangan sampai masuk kepondok” teriak Kiai Kholil. Mendengar
teriakan kiai Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang
bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut yang dianggap Macan. Para santri
yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat, dan apa saja mengerubuti “macan”
yang tidak lain adalah pemuda tersebut. Muka pemuda tersebut menjadi pucat pasi
ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari
meninggalakn komplek pondok tersebut.
Karena
tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Kiai Kholil,
keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu,
dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa
takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada
di mussola pondok pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan
dimarah-marahi oleh Kiai Kholil. Namun demikian, setelah itu dirinya diajak
oleh Kyai Cholil kerumah dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok
yang beliau pimpin. Sejak itu, remaja tersebut sebagai santri pondok. Pemuda
yang dimaksud diatas adalah Abdul
Wahab atau Abdul
Wahab Hasbullah yang
menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang dikatakan oleh Kiai Kholil,
akhirnya Abdul
Wahab Hasbullah benar-benar
menjadi “ Macan” NU.
e. Minta Didoakan Cepat Kaya
Pada
suatu waktu, Kyai Cholil mempunyai tamu yang berasal dari keturunan tionghoa
yang terkenal dengan panggilan Koh Bun Fat, datang untuk keperluan pribadinya.
“Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya, karena aku sudah bosan hidup
miskin”. Kata Koh Fat yang sedang miskin. Setelah mendengar niat tamunya
tersebut, Kyai Cholil meminta Koh Bun Fat untuk mendekat. Setelah mendekat,
Kyai Cholil memegang kepala Koh Bun Fat dan memegangnya erat-erat sambil
mengucapkan. “Saatu lisanatan, Howang-howang, Howing-Howing. Pak uwang huwang
nuwang. Tur kecetur salang kecetur, sugih.. sugih..sugih!”. Saat itu diucapkan
oleh kiai Kholil, tidak ada satupun yang ada memahami makna apa yang diucapkan
oleh Kiai Kholil. Namun, dengan kata tanpa makna itu, Koh Bun Fat justru
beerubah menjadi pengusaha Tionghoa yang kaya raya.
f. Tongkat dan Tasbih Ajaib
Berkaitan
dengan cerita Kyai Cholil soal tongkat ajaib, kejadian ini berkaitan langsung
dengan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Pada saat itu, Kyai
Wahab dalam berbagai kesempatan selalu
menyosialisasikan ide untuk mendirikan jam’iayah atau organisasi. Sebenarnya
semenjak ide tersebut disosialisasikan, tidak ada masalah yang menghalangi
kecuali restu dari KH Hasym Asy’ary. Karena beliau adalah guru dari Kyai
Wahab sehingga dirinya merasa perlu mendapatkan restu
langsung. Ketika gagasan tersebut dsampaikan, ternyata tidak langsung di
setujui. KH Hasyim Asy’ari perlu berhari-hari dan bulan untuk melakukan
sholat Istikharah memohon petunjuk dari Allah, namun harapan itu tidak kunjung
datang.
Kyai
Cholil sebagai guru KH Hasyim Asy’ari mengamati kondisi tersebut. Kemudian beliau
mengutus seorang santri yang juga masih cucunya sendiri, As’ad untuk menghadapnya. “Saat ini Kiai Hasyim sedang resah, oleh karena itu, antar dan
berikan lah tongkat ini kepadanya” Kata Kyai Cholil sambil memberikan tongkat
yang dimaksud. “dan jangan lupa bacakan ayat ini surat thoha As’ad.
Setelah
itu, As’ad kemudian pergi ke Jombang untuk menyampaikan pesan yang di bawanya
serta menyampaikan tongkat. Hari berganti bulan dan bersama perjalanan waktu,
organisasi yang sudah dirintis oleh Kyai Wahab belum juga terbentuk, sehingga Kyai Cholil
mengutus As’ad yang kedua kali dengan membawakan tasbih dan meminta KH Hasyim Asy’ari untuk mengamalkan Asmaul Husna yang berbuyi
“Ya-Jabbar- Ya Qohhar”. Setelah berjuang di bantu oleh kiai-kiai lain, akhirnya
nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926, atau
tepat 1 tahun setelah KH Cholil wafat yang jatuh pada tanggal 29 Romadhon 1343
H.
g. Karomah Kewalian
Ulama
besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena
kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah
belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Cholil.
Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Cholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab.
Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab
Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang
tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
Adapun karomah Mbah Cholil diantaranya:
h. Lebah Gaib
Kekeramatan
Mbah Cholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi
kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini
sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat
peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
KH Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10
November 1945, Mbah Cholil, bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Kyai
Wahab dan Mbah Abas BuntetKota Cirebon,
mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan
semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.
Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan
Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan,
Mbah Cholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan
lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan
buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam
lawan.
“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana,
kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang,
peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,”
Papar KH Ghozi, cucu KH
Abdul Wahab Hasbullah ini.
i. Membelah Diri
Kesaktian
lain dari Mbah Cholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di
beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau
mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Cholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH
Ghozi.
Para
santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa.
Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan
kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Cholil. Dia mengucapkan
terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah
Cholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata
saat memberi pengajian, Mbah Cholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH Ghozi yang
kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
j. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam
buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar”
menerangkan bahwa Mbah Cholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai
Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh
penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit
lumpuh, padahal beliau sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum
juga sembuh. Lalu beliau mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa
menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah beliau ke Madura yakni ke Mbah Cholil
untuk berobat. beliau dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di
tengah perjalanan beliau bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit
(kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke
Mbah Cholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira
jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Cholil, muncullah Mbah Cholil dalam
rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: "Mana orang itu?!! Biar
saya bacok sekalian."
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit
tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa beliau sadari sedang sakit. Karena
Mbah Cholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari,
mereka sembuh. Setelah Mbah Cholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke
makam beliau.
k. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada
suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang
siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu
terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah
bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Cholil. Sesampainya di rumah
Mbah Cholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu.
Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para
petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“
Jawab Mbah Cholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah
Cholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami
selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan
nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai
kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”.
Lalu serta-merta Mbah Cholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma
zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma
zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan
tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada
ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Cholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah
Cholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan
kemujaraban penangkal dari Mbah Cholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani
ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat
pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak
bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela
diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat
maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya
sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton
orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa
duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Cholil lagi. Tiba di
kediaman Mbah Cholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan
ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan
para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang
yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima
kasih kepada Mbah Cholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke
pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok
kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren
dipenuhi dengan timun.
l. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian
ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekah. Semua
penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita
berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin
sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum
berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke
luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan
kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya
dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski
agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan,
kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat
kenyataan ini. beliau duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba
ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah
kamu kepada Mbah Cholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!”
Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Cholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa
harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu
pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Cholil minta tolong padanya
agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup
pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang
suami yang malang itu ke Bangkalan.
Setibanya di kediaman Mbah Cholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada
keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa
yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Cholil. Tiba-tiba Kyai itu
berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana
pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi
yang menyuruh ke Mbah Cholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah
Cholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas
pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Cholil!” Ucap orang
yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi
ke Mbah Cholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga
kalinya, Mbah Cholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali,
saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat
secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Cholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang
itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Cholil berpesan: “Setelah ini,
kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang
lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap
tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu
pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Cholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah
Cholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan.
Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang
berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang
dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera beliau temui istrinya di
salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh
sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami
peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya.
Terbayang wajah Mbah Cholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang
lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki
karomah yang sangat luar biasa.
BAB III
PENUTUP
I.
KESIMPULAN
Sesungguhnya pendidikan yang kita laksanakan sekarang ini tidaklah terlepas
dari usaha-usaha para tokoh pendidikan yang dahulu telah merintisnya dengan
perjuangan yang sangat berat dan tidak mengenal lelah. Oleh karena itu bila
kita berbicara tentang pendidikan yang kini berlangsung tidaklah arif bila
tidak membicarakan sosok dan tokoh pendidikan tersebut, dengan hanya menerima
jerih payah dan karya mereka.
Dari semua
uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan itu sangatlah
penting terutama yang pendidikan Islam. Yang mana pendidikan Islam ini
sangatlah dianjurkan bahkan diwajibkan bagi tiap-tiap muslim.
Dalam
perkembangannya di seluruh dunia banyaklah terdapat tokoh-tokoh yang terkemuka
dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam. Semua mempunyai
pemikiran-pemikiran tersendiri, namun semuanya itu tetaplah mengarah dan
mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Selain itu juga
ternyata pendidikan Islam, tidak hanya mencakup masalah ke agamawan saja tetapi
semua ilmu pengetahuan terdapat di dalamnya.
II. SARAN
Kami
menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini banyak ditemui kesulitan, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik agar kami dapat menyempurnakan
karya tulis ini.
Demikianlah
Kesimpulan dan saran dalam pembuatan karya tulis ini. Dalam pembuatan karya
tulis ini banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis sebagai
manusia biasa mohon maaf atas segala keurangan dan kekhilafan. Semoga karya
tulis ini
bermanfaat bagi kita semua.
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Guru ulama Jawa, Madura oleh Wan Mohd. Shaghir
Abdullah
Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 7 Rabi’ul Awwal
1434
Manakib KH Cholil Bangkalan
Dari beberapa website lainnya.
WWW.GOOGLE.COM
Wiki Aswaja
Ensiklopedia NU
Komentar
Posting Komentar